Sabtu, 15 Juni 2013

Sebuah Jilbab




"
Sebuah Jilbab"
(By: Siska Nurtika)

Aku terduduk di kursi taman yang terletak tak jauh dari rumahku. Tanganku memegang sebuah novel yang kebetulan belum aku baca sampai halaman terakhir, ku benahi posisi dudukku, dan memasang sebuah headset ke dua saluran pendengaranku. Bola mataku mulai bergerak kanan kiri membaca setiap kata dalam novel. Angin sepoi-sepoi sesekali menerbangkan beberapa helai rambutku. Keadaan sepi seperti di taman ini yang kucari selain mencari tempat yang enak untuk membaca, aku juga ingin menenangkan pikiranku selepas dari sibuknya kegiatan sekolah.

Drrzztt.. Drrzztt..

Kurasakan sesuatu bergetar dari saku celanaku, ya.. Handphone. Segera ku rogoh saku celanaku dan melihat siapa yang mengirimkan pesan.
Assalamualaikum.
Sya, Ima sakit. Di Rumah Sakit Amanda.

Seketika perasaanku berdebar khawatir setelah membaca isi pesan tersebut. Tanpa membalas sms yang masuk, aku langsung pergi menuju rumah sakit yang dimaksud.

***

"Mbak, Ima kenapa?" tanyaku dengan napas terengah-engah, ketika sudah berdiri dihadapan wanita berjilbab anggun itu.

"Mbak, nggak tahu, Sya. Mudah-mudahan Ima nggak apa-apa" jawab wanita yang berumur tiga tahun diatasku, yang kuikuti dengan mengaminkan.

Namanya Hani, kakak Ima, sahabatku. Jari-jarinya terlihat diremas-remas. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sangat akan keadaan adiknya itu.
Setelah dokter memeriksa keadaan Ima, dokter memberitahukan jika Ima hanya kelelahan, dan telat makan, yang menyebabkan mag nya kambuh lagi. Aku menghela napas lega. Syukurlah !

*****

Tanganku sudah sibuk berkutat mengerjakan PR rangkuman Geografi yang lupa untuk aku kerjakan tadi malam. Memburu waktu, aku berusaha menyelesaikannya sebelum bel berbunyi, suasana sekolah dan kelas masih terlihat lengang. Aku pun sengaja berangkat pagi hanya untuk tugas itu.

"Huhft, beres juga" gumamku, sambil menghentakkan tangan kananku yang letih sekian saat menggenggam pulpen. Kumasukkan kembali buku dan alat tulisku ke dalam tas.
Kutatap jam berwana ungu muda yang melingkar dipergelangan tanganku , jarum jamnya berhenti pada jam 06.10 WIB. Masih sangat pagi, bukan?

Drzzt.. Drzzt..

Kurasakan getaran didalam tas sekolahku, apalagi kalau bukan pesan masuk. Aku melihat layar hp, muncul sebuah nama : Ima.
Sya, kamu udah nyampe di sekolah? Aku udah ada di halaman nih. Kesini dong [:D]

Setelah membaca smsnya, aku bergegas ke halaman belakang sekolah untuk menemui Ima. Disana aku melihat seorang gadis membelakangiku, dengan jilbabnya yang lumayan panjang, dan dilengkapi seragam panjangnya.
Keningku berkerut. "Mana Ima?" gumamku dengan nada suara yang hanya aku yang bisa mendengarnya.

Gadis yang ku lihat itu jelas bukan Ima, Ima gadis tomboy yang paling suka main basket dan main gitar. Aku memutuskan untuk bergegas kembali ke kelas.

"Sya..," panggil seseorang ketika kakiku nyaris melangkah.

Suara itu sudah tak asing bagiku, segera ku tolehkan kepalaku. Aku terkaget-kaget, juga heran dengan apa yang kulihat . Gadis itu tersenyum dan senyuman khas yang sudah sering ku lihat. Aku mendekat pada gadis yang tak lain adalah Ima, gadis yang dikenal tomboy, dan bukan seseorang seperti yang ku lihat sekarang.

"I... Ima, kamu?" Ucapanku menggantung, masih dengan perasaan heran melihatnya berubah 180 derajat.

"Assalamualaikum, Sya. Kenapa? Kamu kaget, ya lihat aku?" jawabnya yang tumben-tumbenan melontarkan salam. Manis sih..

Dhuar. Seperti meletus balaon hijauku.
"Waalaikumsallam, Ma. Jelas! Aku kaget dan gak percaya kamu pake jilbab? Kok bisa, Ma?" tanyaku yang menatap Ima lekat-lekat. Ima tersenyum dan memilih menatap lurus ke depan.

Kami pun duduk di kursi panjang, dekat kolam ikan sebelum meneruskan perbincangan.

"Ini udah saatnya aku menutup aurat, Sya. Aku sadar, aku ini udah baligh, bukan anak kecil lagi. Saat aku masuk rumah sakit kemarin, aku sempat bermimpi ketemu sama Alm. Ibuku. Dia datang menemuiku dengan membawa jilbab berwarna putih. Senyuman ibu begitu indah dan mengembang. Tanpa berbicara satu kata pun ibu menghilang setelah memberikan jilbab yang ia pegang" jelas Ima, air matanya terlihat menetes.

Aku tak menyangka dengan perubahan drastisnya, padahal aku sudah lama mengenal Ima, dan dia paling anti memakai jilbab, apalagi rok. Lebih dari aku yang nggak terlalu risih kalau pake jilbab. Tapi, sekarang ia terlihat anggun, dan nada bicaranya yang lembut tak seperti biasanya.

"Dari situlah aku merasakan kasih sayang ibu yang luar biasa, beliau sejak dulu sangat menginginkan aku memakai jilbab dan menutup aurat. Tapi aku membandel tak mendengar perintah Ibu. Sepertinya sekarang saatnya aku diberikan kerinduan untuk menaati Ibu," butiran bening itu sudah keluar dengan derasnya.

"Aku kangen Ibuku, Sya.."

Aku bisa melihat gurat penyesalan dari mata bulatnya.

"Udah, Ma. Jangan nangis! Aku yakin Ibu kamu udah bahagia sekarang. Kamu cantik, lebih cantik setelah kamu pake jilbab. Aku kagum sama kamu, Ma." Ima mengalihkan pandangannya menjadi menatapku. Lagi-lagi dia tersenyum, dan tangannya mengusap sisa-sisa hujan yang jatuh dari kelopak matanya.

"Aku harap kamu juga bisa pake jilbab, Sya" balas Ima, yang membuatku tercekat. Aku bingung harus membalas omongannya dengan menjawab apa. Aku hanya bisa menggoreskan senyum walaupun kupaksakan.

***

Semenjak memakai jilbab, Ima benar-benar total melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dulunya yang jarang banget sholat, sekarang rajin sholat dan juga mengaji. Main basket pun memakai jilbab, padahal kan agak ribet basket make jilbab begitu. Sekarang Ima memilih menambah ikut eskul yang berbau Islami.
Disela-sela acara melamunku, kurasakan seseorang menyentuh bahuku, aku segera menoleh dan beranjak dari dudukku. Sebuah senyum cantik sudah menyambutku.

"Ima," ucapku, saat tahu orang itu adalah Ima.

"Udah adzan, tuh, sholat yuk? Dari pada ngelamunin yang nggak jelas" Ima tersenyum, membuatku tersenyum malu, tahu saja kalau aku sedang melamun tentang dirinya. Setelah sholat, Ima memberikan ku sebuah kotak sedang yang berbalut kertas kado berwarna ungu, warna kesukaanku. Aku menerimanya dengan rasa bingung, inikan bukan hari ulang tahunku. Dan dalam rangka apa Ima memberikan kado itu?.

"Anggap aja itu kado ulangtahun kamu yang udah kelewat. Aku harap kamu bisa pake itu setiap kamu menemui aku. Bukanya di rumah aja, ya, Sya" ucap Ima, yang sudah menjawab pertanyaanku yang belum aku utarakan.

"Makasih, ya, Ma kadonya" balasku yang tak lupa tersenyum, lalu dibalas cepat oleh Ima. Sesampainya di rumah, aku langsung membuka kado yang diberikan Ima, karena dari tadi aku memikirkan apa isinya. Kertas kado yang tadinya rapi, terburu-buru kusobek. Setelah terbuka, ku ambil kain putih yang terlipat rapi itu.

"Jilbab..," gumamku tersentak. "Cantik banget jilbabnya. Tapi, aku belum siap buat berjilbab," ucapku lirih, yang tak lain pada diriku sendiri.

******

Lantunan lagu Katy Perry-Firework berdering lewat handponeku. Tanganku meraba-raba dimana handponeku berada.

"Haduh, siapa sih yang telepon subuh-subuh? Kurang kerjaan apa?" gerutuku, dengan mata yang belum terbuka sempurna. Nama yang tertera dilayar HP pun tak ku lihat jelas.

"Hallo, " sapaku dengan nada sedikit kesal.

"Assalamualaikum, Sya" balas seseorang bersuara parau.

"Waalaikumsallam" jawabku singkat, diantara berat mataku yang terjaga dan tak terjaga.

"Sya, maaf sudah mengganggu subuh-subuh begini. Ini Mbak Hani.."
mendengar nama Mbak Hani, aku langsung bangkit dari tidurku, menjadi posisi duduk. Mataku mulai terbuka sempurna.

"Oh, Mbak! Ada apa, Mbak?"

"Sya, kamu bisa datang ke rumah Mbak, sekarang?" aku mendengar isak tangis dari suara Mbak Hani yang dia sembunyikan. Entah benar atau hanya perasaanku saja.

"Memangnya ada apa, Mbak?"

"Hiks, Ima. . Ima, Sya" tangisan itu memang nyata. Tiba-tiba perasaanku tak enak.

"Mbak, Ima kenapa?"

***

"Tengah malam Mbak masih mendengar Ima keluar kamar dan mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat tahajjud. Dan mbak masih mendengar dia mengaji ayat suci Al-Quran. Sekitar pukul 04.00, Mbak pergi ke kamar Ima untuk mengembalikan buku yang Mbak pinjam. Mbak lihat Ima malah terlelap dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya, beralas sejadah, dan memegang Al-Quran. Saat mbak akan bangunkan, Ima gak memberi respon dan ternyata Ima udah nggak bernapas lagi," jelas Mbak Hani yang terisak menjelaskan kejadiaannya kepadaku, tepat di pinggir makam Ima yang masih merah, bertabur bunga-bunga segar mewangi, dengan nisan yang kokoh tertancap diatasnya "Fatimah Nurkhoerotun"

Sama halnya dengan Mbak Hani, aku tak menyangka Allah memanggil sahabat terbaikku itu begitu cepat, dan juga dengan cara yang mulia, di hari Jumat pula, hari yang penuh arti menurutku.

*****

Di rumah, segera kubuka surat yang diberikan Mbak Hani dari Ima untukku.
Assalamualaikum, Sya [:)]

Alhamdulillah, aku masih bisa menulis surat ini untukmu. Sebelum aku benar-benar merasa Allah akan segera memintaku kembali dan dipeluk dalam syurga-Nya, amien..

Sya, jilbab putih yang aku hadiahkan untukmu, adalah hadiah terakhir yang bisa kuberikan. Dan berharap jika ada keinginan dalam hatimu untuk segera memakainya.

Dulu kamu juga tahu diriku anti terhadap Jilbab. Tapi, alhamdulillah Allah memberikan cahayanya pada hatiku yang gelap. Jilbab itu bukan sesuatu yang buruk, bukan sesuatu yang risih, apalagi bisa menghilangkan kecantikan seorang wanita. Itu salah besar, Sya! Coba kamu perhatikan dirimu di cermin. Betapa cantiknya jika tubuh dan rambut indahmu tertutup, bahkan lebih cantik. Kecantikan yang pertama itu berasal dari hati, kecantikan hati nggak akan pernah pudar, tapi kecantikan wajah, akan berkerut dan mengendor. Allah takkan memerintahkan sesuatu, jika itu bukan untuk kebaikkan. Jilbab melindungi kita dari mata nakal laki-laki, lebih menjaga kita dari hal buruk, dan wujud rasa cinta dan patuh kita sebagai hamba-Nya. Aku masih belajar untuk memakai jilbab sesuai syariat, kamu juga sama. Kita sama-sama belajar.
Oh iya, jangan lupa, Sya. Kalau kamu ingin menemuiku, pake jilbabnya, ya [:)].
Sekian dariku, dan Semoga Allah selalu melindungimu.

Wassalamualaikum wr.wb.

Sahabatmu, Ima []

Buliran hangat itu mengalir dengan sendirinya di pipi ini tanpa otakku yang memerintahkan. Aku terenyuh, sangat benar yang dituliskan Ima dalam surat itu. Aku menatap bayanganku di cermin, dengan kepala yang terbalut jilbab pemberian Ima. Ya Allah, aku terlihat berbeda dan aku merasakan getaran dalam hatiku, ketenangan yang belum aku rasakan sebelumnya

******

Sodaqallahhul'adzim...
Wa shodaqo rosululloh..

Ku akhiri doaku saat itu disamping makam Ima. Kusirami air dan kutaburi bunga segar. Ku tatap batu nisan yang tertulis namanya.

"Assalamualaikum, Ma. Lihat kan aku datang dengan jilbab yang kamu kasih ke aku. Aku cantik nggak? Hehe. Makasih ya, Jilbab ini sangat berati untukku. Seperti dirimu! Kamu pasti sudah bahagia di Syurga Allah. Terimakasih juga sudah mengingatkanku. Kamu sahabat terbaikku, Ma. Aku sudah berjanji, akan memakai jilbab dan nggak akan aku lepas lagi"

---The End---


Opinion: I think the content of his short stories are very interesting, not boring, and very easy to understand language. story of friendship that not only can exchange opinions when there is a problem, have fun together, but it can protect his friend to become a better human being again. I also had the invite to wear the veil by my best friend, I was actually not mind to wear a veil but somehow this heart is not ready. hopefully God quickly gave my heart the light to dark, just like Ima J


Tidak ada komentar:

Posting Komentar